• CERITA PERJALANAN SEKOLAH DI MAJALAH TARBAWI




    INI ADALAH SEKOLAH SOSIAL, SAMPAI KAPANPUN
    Oleh Teni Supriyani
    Majalah Tarbawi Edisi 309 Th. 15 Shafar 1435, 12 Desember 2013

    Saya tumbuh dan berkembang di Kampung Bedeng ini. Sebuah kampung yang dulunya merupakan tempat pembuangan sampah. Sebuah kampung yang sebagian besar warganya hidup dari memulung. Tak heran, anak-anak daerah sini, jarang sekali ada yang sekolah. Termasuk ketika saya sekolah di SMA dulu, saat itu hitungannya hanya beberapa yang sekolah, bahkan hanya saya sendiri yang menyelesaikan hingga akhir. Itu pun alhamdulillah ada yang mau menampung saya sekolah gratis selama di MTs dan SMA. Sehingga mulai dari sana, saya punya keinginan kuat untuk turun tangan mencari solusi dari kondisi kampung ini.

                Waktu beranjak. tahun 2007, saya baru saja lulus kuliah. Saya ingat betul waktu itu ada banjir yang cukup besar melanda Kampung Bedeng ini. Air setinggi kurang lebih dua meter memaksa warga kampung di sini untuk mengungsi di atas kontainer-kontainer. Beberapa warga meminta saya menghubungi siapa saja yang bisa menolong. Alhamdulillah saat itu ada banyak teman dan lembaga yang akhirnya datang membantu.

    Hingga saat banjir mulai menyurut saya terpikir untuk melanjutkan bantuan pasca banjir di bidang yang sudah saya azzam-kan dari dulu. Terlebih ada satu lembaga yang memang rnau memberikan bantuan pendidikan pasca banjir. Cek dan ricek anak usia sekolah, ternyata rata-rata dari mereka sudah tidak bersekolah lagi.

    Memang sebelumnya di Kampung Bedeng ini ada sekolah pemulung. Tetapi tiba-tiba saja sekolah itu berhenti tanpa kejelasan. Setelah mengetahui hal itu sebelumnya, saya pun memendam keinginan kuat-kuat, bagaimana caranya bisa menyelamatkan pendidikan di sini. Hingga kejadian banjir ini seakan kembali menyadarkan saya akan itikad tersebut. Hampir seluruh anak di sekitar sini tidak sekolah. Ada yang memang tidak sekolah karena faktor ekonomi, ada yang memang putus sekolah karena sekolah pemulung yang ada sebelumnya lenyap tanpa kabar berita.

    Sempat mencari lokasi yang sekiranya layak untuk dijadikan sekolah, alhamdulillah ada tawaran dari madrasah untuk memakai bangunannya. Pagi boleh dipakai untuk aktivitas sekolah dasar (SD), dan baru kemudian kegiatan madrasah di siang harinya. Saat itu masih sederhana sekali, duduknya pun anak-anak masih di lantai. Ada tiga ruang madrasah yang bisa digunakan. Saya pakai itu untuk empat kelas.

    Kenapa empat kelas, karena pertama, memang terkait ruangan. Kedua, masalah pengurusan nantinya. Soalnya kalau sampai empat kelas, kita masih ada waktu untuk mempersiapkan izinnya. Maka otomatis anak-anak yang harusnya ada di kelas enam atau di kelas lima, masuk kembali ke kelas empat.

    Pertama kali sekolah berjalan, dapat imbas dari sekolah pemuiung yang sebelumnya. Beberapa orang tua ada yang tak percaya. Katanya, dulu ada sekolah juga begitu. Pelan-pelan saya dekati satu per satu orang tua murid. Saya kasih semangat, saya katakan pada mereka bahwa anaknya harus sekolah. Kita buatkan sekolah, beda dari yang sebelumnya, ini sekolah kita bikin baru. Insya Allah kita akan proses sekolahnya dengan pasti, sesuai target. Sehingga perlahan beberapa dari orang ada yang percaya, meski sebagian yang lain ada yang tetap tidak percaya.

    Beberapa anak kondisinya memang tidak kita paksakan untuk maksimal dalam belajarnya. Saat itu, anak-anak di sini sudah banyak yang berprofesi sebagai pemulung. Meski begitu, Alhamdulillah saat itu terjaring sekitar 60 anak yang tersebar dalam empat kelas.

    Setelah itu, saya koordinasi dengan beberapa rekan. Saya ajak mereka untuk bergabung. Tetapi saya kasih tahu bahwa kita tidak dapat apa-apa di sini. Ini murni niat dakwah. Adapun untuk anak-anak, kita mengharapkan donasi dari orang tua asuh melalui lembaga penyalur dana pendidikan pasca banjir tadi. Alhamdulillah ada tiga orang yang mau bergabung.

    Pada dasarnya saya memantau dan seringkali mengajar di kelas-kelas yang ada. Kadang saya mengajar di kelas tiga dan empat. Tetapi saya membina dengan lebih anak-anak kelas empat yang memang akan dipersiapkan untuk mengikuti ujian nasional pada akhirnya nanti. Ada Sembilan orang anak kelas empat. Karakter mereka sungguh bervariasi. Kalau ingat mereka, saya ingat sebuah novel laris yang difilmkan, rasanya mirip sekali.

    Bahkan pernah sekali waktu ada orang tua asuh yang mengundang kami untuk nonton film tersebut di bioskop. Sepulangnya, mereka amat antusias. Beberapa dari mereka bahkan meminta saya untuk membuatkan cerita karena katanya sosok di film tersebut mirip dengan mereka. Akhirnya saya membuat cerita, sebuah parodi, Laskar Pelongo. Tak kesulitan saya, karena sebelumnya saya sudah mengajari mereka teater di sela kegiatan sekolah. Parodi ini banyak dipentaskan di berbagai acara. Dipentaskan di sekolah, di acara donasi, lalu di Bantar Gebang pas peresmian sebuah sekolah di sana, bahkan di hadapan bapak Gubernur Jakarta.

    Karena kondisi lingkungan yang memang tidak kondusif dari sembilan siswa hanya tujuh yang bertahan sampai kelas enam, hingga ujian nasional SD berlangsung. Dua lagi, ada yang menikah sebelum kelas enam, dan bekerja membantu orang tuanya.

    Sambil menjalankan aktivitas mengajar, saya.juga mengurus keperluan untuk izin operasional sekolah. Bagaimanapun, sekolah ini harus diakui. Beberapa tahun saya berjuang dan mengalami penolakan. Bahkan lurah sempat berujar, "Kenapa sih sekolahan di situ, apa tidak ada sekolah lain." Sempat pula katanya, "Kalau pun presiden datang ke situ, kalau saya tidak izinkan tidak bakalan." Berat sih,tapi justru ini semakin memacu saya. Saya upayakan sebisa mungkin, Alhamdulillah pernah datang Fauzi Bowo waktu itu untuk peresmian Mobil Baca, sekalian curhat juga masalah pendidikan di sini. Alhamdulillah dengan datangnya pak Gubernur waktu itu, sekolah dipermudah untuk perizinannya.

    Hingga pada tahun keempat, baru sekolah yang diberi nama SDI Darut Tauhid ini mendapat izin operasional. Makanya saat itu untuk lulusan pertama, UASBN-nya masih gabung dengan SD terdekat yaitu SDN Rorotan 02.

    Alhamdulillah saat ini sudah lebih baik. Siswa kita sekarang ada 288 orang. Selain SDI Darut Tauhid, ada juga Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak) yang berlokasi di rumah saya. Ada sekitar 40 anak RA. Selain itu, juga ada MTs yang baru merintis satu kelas. Saya berharap dengan adanya MTs ini, anak-anak lulusan SD bisa tetap melanjutkan sekolah.

    Untuk pengajar pun, Alhamdulillah sekarang ada 14 orang yang terlibat, mulai dari guru kelas, guru mata pelajaran, tata usaha, dan penjaga sekolah. Meski begitu, saya sadar bahwa mereka tidak untuk mendapatkan uang dari sini. Mereka sudah mengerti kondisi di sini dari awal. Saat kita rekut, awal masuk kita tekankan bahwa di sini niatnya dakwah. Sehingga mungkin tidak dapat yang diharapkan. Sehingga dari awal mengikhlaskan dirinya untuk mengajar, men-zakat-kan pemikiran dan tenaganya. Setengah gaji itu nanti dibayarin di akhirat. (Tersenyum)

    Meski begitu, sampai saat ini masih selalu ada hambatan. Pertama, birokrasi. Karena dari awal pendirian, kita sangat dipersulit unfuk membangun pendidikan. Karena kondisi sosial, kondisi tanah dan lain sebagainya. Daerah sini kan termasuk daerah abu-abu. Selanjutnya adalah kondisi lingkungan. Bagaimanapun, lingkungan berpengaruh besar di sini. Banyak anak yang berhenti. Ketika ketemu dan ditanya,.jawab mereka, "Capek sekolah". Hitungannya kalau mereka nyari besi, nyari botol bekas, lebih menguntungkan buat mereka. Makanya kita juga menekankan ke orang tua pentingnya pendidikan. Dan tugas orang tua lah mencari nafkah. Sebagian orang tua yang mengerti, setelah SD anaknya melanjutkan ke MTs.

    Selain itu, memang secara hitung-hitungan, jumlah guru kita sebenarnya sudah pas, tapi tetap merasa kurang, karena beberapa guru ada yang cuti hamil dan lain sebagainya. Mungkin ini yang lebih utama terkait ke masalah finansial. Kelas empat ada 60 siswa, kalau kita tambah satu guru lagi, kita tidak bisa menggajinya sehingga cukup satu guru. Lalu kelas lima ada 50 siswa, cukup 1 orang guru. Kita hanya mengharapkan, kalau sekarang mungkin BOS lah  istilahnya. Itu pun harus menunggu enam bulan. Jadi memang kita jalan apa adanya, semaksimal mungkin.

    Sempat merasa pesimis, tapi semua saya kembalikan lagi kepada Allah. Namanya kita bergerak di jalan Allah, pasti ada yang namanya solusinya. Ya pasti ketika guru ada yang kosong dan lain sebagainya yang saya harus ganti berputar beberapa kelas, berkeliling, itu sudah bagian dari permasalahan di pendidikan. Dan saya dari awal sudah tahu konsekuensinya. Saya selalu yakin bahwa siapa yang menolong agama Allah, akan mendapat pertolongan dari-Nya.

    Terbukti, meski dengan terseok, Alhamdulillah selalu ada cerita menarik. Termasuk dari perkembangan anak-anak sendiri. Beberapa kali ketika awal berdiri kita belum ada ekstrakulikuler seperti pramuka. Saat itu, saya latih sendiri. Kemudian kita mengikuti sebuah acara besar bertajuk Lintas Budaya Pesisir, Alhamdulillah secara tidak terduga kita menjadi juara satu. Padahal itu masih baru dan banyak sekolah-sekolah, ada sekitar 40 sekolah yang sudah lama, yang maksimal. Beberapa kegiatan juga, seperti lomba dongeng sejabotabek kita dapat juara dua. Atau lomba marathon, lalu lomba silat baru-baru ini, kita tidak menduga bisa juara satu. Padahal hitungannya nasional, bahkan ada peserta dari Malaysia dan Singapura yang ikut juga. Dari tiga kategori kita.iuara 1. Alhamdulillah (Tersenyum)

    Saya hanya berharap kedepannya bisa lebih meningkatkan mutu lagi, lebih profesional lagi. Walaupun serba kekurangan, tetap kita coba untuk meningkatkan apa yang kita cita-citakan, apa yang kita impikan. Mimpi saya, yang pertama, saya ingin mencetuskan anak-anak yang bisa berguna baik itu dengan melanjutkan pendidikannya, atau bahkan bisa menjadi orang, sehingga berguna bagi bangsa dan sesama. Lalu ke depannya sekolah ini tetap berdiri walaupun kondisi apapun. Kedepannya kita tetap fokus bahwa ini adalah sekolah sosial, sampai kapanpun. Sekolah sosial yang mengharapkan dan menginginkan anak-anak di sekitar sini bisa tetap sekolah. Dan yang ketiga, saya mengharap perhatian lebih kepada sekolah-sekolah seperti kita, mulai dari pemerintah agar kita difasilitasi untuk mendapatkan bantuan sehingga bisa berkembang lagi.

    Seperti yang dituturkan Syarif Abdurrahman kepada Teni Supriyani dari
    Majalah Tarbawi di rumahnya, di Kampung Bedeng, Cakung Cilincing, Jakut
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

kontak lainnya

https://www.facebook.com/syarif.abdurrahman
https://twitter.com/syarifdt
Whats app/08999696844
syarif_unj@yahoo.com
syarif2001@gmail.com
sdidaruttauhid@yahoo.co.id
http://ralfirdaus.blogspot.com/
http://mtsdaruttauhidjakarta.blogspot.com/
http://tbacerah.blogspot.com/

Qosidah

TBA Cerah

DENAH GEDUNG RUANG KELAS SDI DT

PETA SDI DARUT TAUHID

Cari Blog Ini

SUPPORT BY

Selamat Datang di website kami


Perputakaan

Pramuka

Upacara Bendera